Paradigma Keberlanjutan, Sebagai Tanggapan Terhadap Kerusakan Lingkungan

Ruang Kota Ekologis

Istilah ekologi berasal dari bahasa Yunani, yaitu oikos yang berarti rumah dan logos yang berarti ilmu. Secara harfiah ekologi berarti ilmu tentang makhluk dalam rumahnya atau dapat diartikan ilmu tentang rumah tangga makhluk hidup. Definisi ekologi biasanya adalah ilmu tentang hubungan timbal balik makhluk hidup dengan lingkungan hidupnya.

Berbagai masalah lingkungan yang timbul pada kota metropolis ( polusi udara, meningkatnya suhu di kota, dan lain – lain ) telah memicu timbulnya pemikiran baru untuk membuat kota yang lebih bersahabat dengan lingkungan ( ecologycal city ) atau ecopolis. Ecopolis adalah upaya menyatukan pola pemukiman penduduk dengan pola kehidupan alam sehingga kota yang terbentuk menjadi tempat pelestarian daya dukung lingkungan. Masyarakat memegang peranan penting dalam pembentukan kota ekologi karena membutuhkan kepekaan dari masyarakat kota.

Sekarang banyak orang yang mencari privacy, namun konsep ecopolis lebih ingin menawarkan kebersamaan antar masyarakat. Selain itu konsep ini membiarkan lebih banyak lahan yang kembali ke fungsi alaminya dengan membuat taman kota sebagai penangkal polusi dan wahana rekreasi bagi penduduk. Contoh kegiatan yang mendukung pembentukan kota ecopolis adalah penghijauan kota, pembentukan desa ekologi, perlindungan ekosistem, dan lain – lain yang bersangkutan dengan pemeliharaan lingkungan.

Tuntutan dalam paradigma keberlanjutan ekologi adalah sebuah perubahan mendasar dalam kebijakan nasional yang memberi prioritas pada kelestarian bentuk-bentuk kehidupan planet ini. Yang jadi sasaran adalah mempertahankan dan melestarikan ekologi dan seluruh kehidupan yang terkandung di dalamnya. Jadi pemerintah benar – benar dituntut untuk membuat kebijakan yang memperhatikan lingkungan.


Tersedianya Pedestrian Area

Kota-kota besar terkesan bahwa kepedulian terhadap pelestarian alam kian menipis. Padahal dalam disiplin ilmu perencanaan kota dikenal kaidah yang menyatakan bahwa kota sebagai cerminan peradaban manusia merupakan senyawa kontekstual dari lingkungan fisik ( alam maupun buatan), fungsi pelayanan dan jasa, estetika, dan implikasi politik – sosial – ekonomi – budaya – pertahanan – keamanan, dengan tujuan akhir berupa peningkatan kesejahteraan terhadap warganya. Berarti perencanaan kota tidak boleh sekedar terpasung pada aspek fisik dan visual semata.

Di berbagai negara dewasa ini berkembang gerakan kembali ke alam melalui upaya mengembangkan kota dan desa menyatu dengan alam yang disebut ecovillage dan ecopolis. Kita tidak perlu khawatir akan mengenai daerah pedesaan terutama pada lingkungan masyarakat pedesaan yang masih menghormati alam. Namun pada kota-kota besar perlu diwaspadai. Kota yang baik harus memakai Sapta-E : Ecology, Economi, Energy, Employment, Equity, Etika dan Estetika. Namun yang paling penting saat ini adalah ekologi. Hal ini dimaksudkan agar pembangunan kota lebih terarah dan tidak merusak lingkungan alam serta tidak mengganggu kesejahteraan umat manusia. Sehingga keseimbangan ekosistem tetap terjaga serta dalam membangun kota tidak melebihi batas daya dukung lingkungan.

Untuk meningkatkan daya dukung lingkungan seharusnya tidak menggunakan konsep conventional development di mana sumber daya alam dianggap terpisah dari fungsi ekosistem melainkan dengan menggunakan pola sustainable development, yaitu sumber daya alam dianggap sebagai bagian integral dari fungsi ekosistem. Sumber Daya Alam harus dipergunakan secara efektif dan efesien. Efisiensi SDA dapat dilakukan dengan cara 5R yaitu reduce ( mengurangi ), recycle ( daur ulang ), reuse ( penggunaan kembali ), replenish ( mengisi lagi ), dan recover ( menemukan kembali ). Ini semua dilakukan agar generasi mendatang dapat merasakan SDA yang tidak dapat diperbaharui. Selain itu ini adalah pengupayaan menuju penghematan energi.

Rencana penggunaan lahan dan tata ruang yang berwawasan linhkungan menjadi bagian yang penting untuk segera dilakukan. Para perencana dituntut untuk merencanakan pembangunan kota yang memperhatikan ekonomi dan ekologi. Perencanaan seperti itu dapat dibantu dengan metode DPA ( Development Possibility Analysis). Metode ini menggunakan input berupa kajian tentang hubungan sebab akibat antara aktivitas ekonomi dan sumber daya. Karena banyak aktivitas ekonomi yang menghabiskan sumber daya alam. Misalnya saja proses produksi dan distribusi yang menghabiskan banyak bahan bakar.

Penduduk kota yang semakin bertambah itu menandakan jumlah pengguna kendaraan bermotor akan semakin bertambah yang tentunya akan membuat ruas jalan semakin sempit. Ruas jalan yang sempit dengan pengguna kendaraan yang bertambah akan menyebabkan kemacetan.

Oto Sumarwoto ( dalam eko Budihardjo, 1993 : 156 ) menyatakan bahwa dewasa ini pertumbuhan lalu lintas di jalan tol merupakan kurva eksponensial. Kurva ini merupakan ancaman bagi ekolog, oleh karena itu kurva ini disebut overshoot dan collapse, yaitu melampaui daya dukung dan kemudian menuju keambrukan.

Akhir – akhir ini banyak daerah di Indonesia yang mengalami kemacetan. Hal ini diakibatkan oleh banyaknya kendaraan yang menggunakan jalan tapi tidak didukung dengan jumlah jalan ataupun lebar ruas jalan. Banyak orang yang tidak mengunakan fasilitas transportasi umum dan lebih suka menggunakan kendaraan pribadi padahal dengan menggunakan transportasi umum berarti telah mengurangi penggunaan ruas jalan dan lebih hemat energi.

Untuk menangani keambrukan lalu lintas perlu dilakukan pelebaran ruas jalan atau penambahan jalur jalan baru dan pemerintah membuat kebijakan yang lebih berorientasi pada pemakaian kendaraan umum ( public transport oriented ). Hal ini dapat dilakukan dengan mengembangkan sistem transportasi umum dengan cara menambah fasilitas pada kendaraan umum yang berslogan murah, aman, nyaman. Sistem transportasi semacam itu telah diterapkan oleh Pemerintah Kota Jakarta dengan cara membuat busway. Namun setelah melihat perkembangan dari penggunaan busway ternyata usaha Pemkot DKI untuk mengurangi kemacatan gagal. Karena kemacetan masih banyak terjadi di ruas-ruas jalan. Selain itu bisa juga dengan menaikkan pungutan pajak serta penyediaan tempat parkir yang dikonsentrasikan pada suatu lokasi ( car park ), seperti yang telah dilakukan di Kota Jogja lebih tepatnya adalah di jalan Malioboro Dengan adanya car park akan lebih membantu para pengunjung pasar Malioboro untuk menemukan lahan parkir. Dengan begitu akan menarik para pengguna kendaraan pribadi beralih ke kendaraan umum.

Guna mengurangi kemacetan yang diakibatkan oleh banyaknya pengguna kendaraan bermotor pribadi, pemerintah dapat menerapkan kebijakan car sharing. Kebijakan car sharing ini sendiri tergolong kebijakan lunak ( soft policy ) pada pengurangan angka ketergantungan mobil. Artinya orang masih bisa memilih untuk mengabaikan kebijakan ini. Hampir mirip dengan strategi lunak pada PAYD ( pay as you drive ), yang berarti semakin banyak kita berkendaraan maka akan semakin besar pengeluaran yang kita bayarkan. Bandingkan dengan kebijakan keras ( hard policy ) pada pengurangan kepadatan mobil, semisal congestion pricing atau cordon line yang mengharuskan kita memilih satu di antara 2 pilihan: tetap bermobil dengan resiko pengeluaran yang sangat tinggi atau meninggalkan penggunaan mobil sama sekali.

Dalam membangun kota yang berwawasan lingkungan dibutuhkan konsep humanopolis. Di mana dalam membangun kota perlu diperhatikan kegiatan dan kebutuhan sosial masyarakat. Misalnya membangun pedestrian ways atau pedestrian mall. Sehingga terjadi saling kontak sosial antar masyarakat dan merekatkan komunitas perkotaan.

Category:

0 comments: